Home » » Khilafiyah Seputar Tawasul

Khilafiyah Seputar Tawasul

FIQH KHILAFIYAH SEPUTAR TAWASUL

Dalam HPT Muhammadiyah tidak terdapat keterangan yang rinci mengenai masalah tawasul. Namun demikian, penulis mengambil kesimpulan bahwa Muhammadiyah tidak sependapat dengan berdoa dengan cara bertawasul (melalui wasilah atau perantara). Hal ini bisa dilihat dari apa yang terjadi di dalam warga Muhammadiyah, yang tidak memiliki tradisi bertawasul sebagaimana di NU, seperti pembacaan kitab barzanji, haul, sholawatan berjamaah, atau pun tradisi ziarah Walisongo.
Lebih jelas lagi, ketika penulis mendapati sebuah artikel di situs Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bontang. Sebuah artikel yang menolak cara berdoa dengan bertawasul, khususnya tawasul kepada orang yang sudah meninggal.
Tuntunan cara berdoa, sebagaimana dimuat dalam kitab HPT Muhammadiyah hanya menyebutkan bahwa doa itu diawali dengan memuji Allah, shalawat Nabi lalu menyampaikan isi doa, kemudian diakhiri dengan membaca hamdalah. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Abu dawud,, at- Tirmidzy, al Hakim, Ibnu Hibban, dan al0 Baihaqy serta surat Yunus ayat 9-10.
Nukilan hadis dan ayat tersebut di atas ialah sebagai berikut :
Allah berfirman :
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka Karena keimanannya, di bawah mereka mengalir sungai-sungai di dalam syurga yang penuh kenikmatan. Do'a, mereka di dalamnya ialah: "Subhanakallahumma", dan salam penghormatan mereka ialah: "Salam". dan penutup doa mereka ialah : "Alhamdulilaahi Rabbil 'aalamin". (Q.S Yunus: 9-10)


Rasulullah saw bersabda, yang artinya :
Apabila berdoa salah seorang di antaramu, mulailah dengan memuji Allah, kemudian membaca shalawat Nabi saw kemudian barulah memohon apa yang dikehendaki (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzy, al Hakim, Ibnu Hibban, dan al-Baihaqy)

Selain dari pada keterangan tentang cara berdoa, penulis juga mendapati penolakan Muhammadiyah terhadap cara doa dengan bertawasul. Dalam kitab HPT Muhammmadiyah menjelaskan masalah ziarah kubur, Tarjih menyatakan : dan janganlah mengerjakan di situ sesuatu yang tiada diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti : meminta-minta pada mayat dan membuatnya perantaraan hubungan kepada Allah.”

Hal tersebut di dasarkan pada firman Allah surat Yunus ayat 106, sebagai berikut :
Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, Maka Sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim". (Q.S Yunus: 106)

Juga firman Allah surat Az-Zumar ayat tentang tindakan orang musyrik Mekah, ketika menyembah kepada berhala-berhala, mereka mengatakan bahwa berhala itu untuk mendekatkan kepada-Nya sedekat-dekatnya. Sebagaimana firman Allah :
"Ingatlah, Hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya".
Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar." (Q.S. Az-zumar: 3)

Jelaslah sekarang, bahwa Muhammadiyah tidak menyepakati adanya tawasul kepada orang yang sudah meninggal (mayat). Salah satu dalil aqli yang digunakan adalah, bahwa orang yang sudah meninggal sudah tidak bisa berbuat apa-apa, dan tidak bisa mendengar. Lalu bagaimana dengan tawassul kepada Nabi Saw ?
Dalam kumpulan Fatwa dan Berbagai Artikel dari Syaikh Ibnu Baz, sebagaimana terdapat di situs Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bontang, disebutkan bahwa bertawasul kepada Nabi saw bila hal itu dilakukan dengan cara mengikuti beliau, mencintai, taat terhadap perintah dan meninggalkan larangan-larangan beliau serta ikhlas semata karena Allah di dalam beribadah, maka inilah yang disyariatkan oleh Islam dan inilah dien Allah yang dengannya para Nabi diutus, yang merupakan kewajiban bagi setiap mukallaf (orang yang dibebani dengan syariat) serta merupakan sarana dalam mencapai kebahagian di dunia dan akhirat.
Sementara itu menjadikan Nabi sebagai perantara doa kita, yakni bertawassul dengan cara meminta kepada beliau, beristighatsah kepadanya, memohon pertolongan kepadanya untuk mengatasi musuh-musuh dan memohon kesembuhan kepadanya, menurut Saikh Ibnu Baz adalah termasuk syirik yang paling besar.

Dari pendapat tersebut didapati pengertian bahwa berdoa dengan cara bertawasul kepada Nabi adalah haram. Demikian pula berdo’a dengan cara bertawasul kepada selain Nabi Muhammad saw, seperti Nabi-Nabi yang lain, para wali, jin, malaikat.
Lebih jauh Saikh Ibnu Baz menegaskan bahwa disamping tawasul dengan cara di atas, juga tidak dibenarkan bertawasul dengan melalui jah (kedudukan) Nabi saw, hak atau sosok beliau, sebagai contoh ucapan seseorang, “Aku memohon kepadamu, Ya Allah, melaui nabi-Mu, atau melalui jah nabi-Mu, hak nabi-Mu, atau jah para nabi, atau hak para nabi, atau jah para wali dan orang-orang shalih”, dan semisalnya.

Dasar pengharaman itu ialah karena Allah swt tidak pernah mensyariatkan hal itu sementara masalah ibadah bersifat tauqifiyah (bersumber kepada dalil-penj) sehingga tidak boleh melakukan salah satu darinya kecuali bila terdapat dalil yang melegitimasinya dari syariat yang suci ini.
Bertawasul itu boleh, bila kepada orang-orang yang masih hidup, seperti ucapan anda kepada saudara anda, bapak anda atau orang yang dianggap baik, “Berdoalah kepada Allah untukku agar mrnyembuhkan penyakitku!”, atau “agar memulihkan penglihatanku’. “menganugrahiku keturunan”, dan semisalnya. Kebolehan akan hal ini adalah berdasarkan ijma’ (Kesepakatan) Para ulama.
 
Support : Okieweb | Papuahackers | Designed by Zero Point
Copyright © 2011. Blog Catatanku - All Rights Reserved | Proudly powered by Blogger